|Ritual Terakhir|
Malam di Desa Tegalalang terasa kelam. Angin membawa aroma dupa yang samar, bercampur bisikan misteri yang tak pernah Made rasakan sebelumnya. Langit Bali, biasanya gemerlap bintang, kini tertutup awan muram, seakan meramalkan akhir yang tak terelakkan.
Made duduk di beranda rumah tua warisan keluarganya, memandang pohon kelapa yang bergoyang di kejauhan. Gemericik air dari sawah terasering biasanya menenangkan, tapi malam ini, jantungnya gelisah. Bayangan gelap merayap di benaknya, membawa ingatan masa kecil: ibunya, Ni Luh, menyanyikan mantra pelan sambil meracik ramuan untuk menyembuhkan tetangga. Ni Luh adalah dukun penyembuh, pilar desa, dan cahaya hidup Made. Tapi kini, desas-desus mengerikan mengelilingi namanya.
“Kamu harus hati-hati, De,” kata Pak Nyoman, tetangga tua, beberapa hari lalu. “Angin membawa kabar buruk. Leak berkeliaran lagi.”
Leak—makhluk mistis Bali yang konon bisa berubah wujud, dari manusia menjadi sosok mengerikan dengan mata menyala dan gigi runcing. Made dulu menganggapnya sekadar cerita nenek moyang. Tapi sejak ternak warga mati dengan luka aneh di leher, seakan darah mereka dihisap kering, desa berubah. Ketakutan merasuki Tegalalang. Malam tak lagi damai.
Suara cekikikan dari hutan kadang terdengar, membuat warga mengunci pintu rapat setelah matahari terbenam. Yang lebih mengerikan adalah kematian Pak Ketut, petani tua yang ditemukan tak bernyawa di sawah. Wajahnya membiru, matanya terbelalak ngeri, tubuhnya dingin seperti es. “Ini ulah Leak,” bisik tetua desa. “Ada yang mempelajari ilmu hitam di antara kita.”
Desas-desus itu mengarah pada Ni Luh. “Aku melihatnya masuk hutan malam-malam,” kata seorang warga, suaranya penuh curiga. “Mungkin dia memanggil Leak.” Made menolak percaya, tapi keraguan mulai menggerogoti hatinya. Ibunya memang sering menghilang ke hutan sejak ayahnya meninggal, melakukan ritual yang tak pernah dia jelaskan.
Malam itu, Ni Luh belum pulang sejak senja. Made menunggu, tapi pikirannya dipenuhi bayangan mengerikan. Tiba-tiba, cermin di sudut ruangan memantulkan sesuatu—bayangan perempuan dengan rambut panjang, melayang di belakangnya. Made menoleh cepat, tapi tak ada apa-apa. Hanya angin yang menderu.
Langkah kaki terdengar dari halaman belakang. Ni Luh muncul, wajahnya pucat di bawah lampu minyak. Kerutan dalam di dahinya tak biasa, dan tangannya yang biasanya hangat kini dingin saat menyentuh bahu Made.
“Ibu dari mana? Sudah larut,” tanya Made, suaranya gemetar.
Ni Luh tersenyum tipis. “Hanya menyelesaikan sesuatu, Nak. Jangan khawatir.”
Tapi Made tahu ada yang disembunyikan. “Ibu tahu rumor di desa, kan? Mereka bilang Leak ada di sini. Mereka curiga pada Ibu.”
Mata Ni Luh berubah, ada kilatan rahasia di dalamnya. “Kamu terlalu mendengar omongan orang,” katanya pelan. “Ada hal-hal yang mereka tak pahami. Dan lebih baik kamu tak tahu.”
Malam terasa lebih sunyi, seakan menanti pengakuan yang akan mengubah segalanya.
Keesokan harinya, Made berjalan ke pasar, pikirannya kacau. Di pasar, warga berbisik tentang pemangku sakti dari desa tetangga yang dipanggil untuk melacak Leak. Konon, pria itu pernah mengusir makhluk serupa di tempat lain. Harapan sekaligus ketakutan menggantung di udara.
Made mampir ke rumah Pak Nyoman. “Desa ini sedang tidak baik, Made,” katanya, asap rokok melayang dari bibirnya. “Semalam, ada yang melihat sosok aneh di hutan. Banyak yang curiga pada ibumu.”
Made merasa dadanya sesak. “Ibu tidak mungkin melakukan itu!”
Pak Nyoman menatapnya lama. “Jika dia terlibat, kamu harus memilih, Made. Ritual terakhir Leak bisa menghancurkan desa.”
Malamnya, Made menemukan ibunya di ruang tamu, menyiapkan sesajen dan kemenyan. Cahaya lilin membuat bayangannya menari di dinding, seperti roh yang tak tenang.
“Ibu, kita harus bicara,” tegas Made. “Desa memanggil pemangku. Apa Ibu terlibat dengan Leak?”
Ni Luh menunduk, jari-jarinya mengusap sesajen dengan hati-hati. “Sejak ayahmu meninggal, aku terpaksa membuat pilihan sulit, Nak,” katanya pelan. “Aku terikat pada dunia Leak, tapi bukan untuk menyakiti. Aku melindungi desa dari roh jahat yang lebih besar. Sekarang, hanya ritual terakhir yang bisa memutus ikatan ini.”
Made menelan ludah, tenggorokannya kering. “Ritual terakhir... apa artinya Ibu harus mati?”
Ni Luh menatapnya, matanya penuh kasih sekaligus beban. “Ya, Nak. Ini satu-satunya cara agar desa selamat.”
Made merasa dunianya runtuh. Ibunya, yang dulu mengajarinya cara menenun dan tertawa di tepi sawah, kini membawa rahasia yang tak pernah dia bayangkan.
Di tengah malam, Made dan Ni Luh berjalan menuju pura tua di kaki gunung, tempat keramat yang jarang disentuh manusia. Jalan setapak dipenuhi kabut tipis, pohon beringin berderit tertiup angin. Aroma tanah basah bercampur bau busuk yang tak wajar, membuat bulu kuduk Made berdiri.
“Harus ada cara lain, Bu,” desis Made, suaranya nyaris tenggelam oleh suara air sungai di dekatnya.
Ni Luh terus melangkah, tubuhnya kurus tapi tegas. “Tidak ada, Nak. Aku memilih ini demi kalian semua.”
Tiba-tiba, Made mendengar derap kaki di belakang. Obor-obor berkelap-kelip di kejauhan—pemangku dan warga desa membuntuti mereka. “Bu, mereka mendekat!” seru Made, panik.
Ni Luh menoleh, wajahnya keras. “Kita harus sampai ke pura. Waktu hampir habis.”
Mereka menyeberangi jembatan kayu tua yang rapuh, menuju pura yang tersembunyi di balik kabut. Tiba di altar batu yang dipenuhi sesajen, Ni Luh menyalakan kemenyan dan mulai melantunkan mantra dalam bahasa Bali kuno. Suaranya lembut tapi penuh kekuatan, membuat udara terasa berat.
Pemangku dan warga tiba, mengepung mereka. Pria tua itu, memegang keris berkilau, melangkah maju. “Ni Luh! Malam ini, terormu berakhir!”
Made menghalangi mereka. “Ibu ingin menyelamatkan kita! Kalian salah paham!”
Tapi ketakutan warga lebih kuat. Ni Luh, tak goyah, terus melantunkan mantra. Angin berputar kencang, memadamkan obor-obor. Dari kabut, muncul sosok-sosok mengerikan—Leak dengan mata merah menyala, gigi runcing berlumur darah, melayang di udara. Warga menjerit, mundur ketakutan.
“Ini bagian dari ritual,” gumam Ni Luh, keringat membasahi dahinya. “Aku harus memanggil mereka untuk memutus kutukan.”
Mantra mencapai puncak. Ni Luh terhuyung, tubuhnya lemah. Made menangkapnya, air mata membasahi wajahnya. “Ibu, bertahan!”
Ni Luh tersenyum, darah merembes dari bibirnya. “Kutukan sudah putus, Nak. Jaga dirimu.” Dia meraih kalung sederhana dari lehernya, menyerahkannya pada Made. “Ini warisanku. Gunakan dengan bijak.”
Tiba-tiba, pemangku melempar kerisnya. Senjata itu menembus tubuh Ni Luh. Dia tersungkur, tapi Leak di sekitarnya berputar liar dan lenyap ke dalam kabut. Ritual selesai.
Pagi tiba, tapi dunia Made gelap. Ni Luh tergeletak tak bernyawa, wajahnya damai, bebas dari beban yang selama ini dipikulnya. Warga dan pemangku mundur, puas namun ketakutan. Mereka mengira telah menghentikan Leak, tapi Made tahu kebenaran: ibunya mengorbankan diri untuk menyelamatkan mereka.
Waktu berlalu. Desa kembali tenang, seakan tak pernah ada teror. Tapi Made berubah. Setiap malam, dia mempelajari mantra dan ramuan yang dulu diajarkan ibunya, kalung Ni Luh selalu di lehernya. Di tepi sawah, dia kadang melihat bayangan ibunya, tersenyum penuh kasih.
Made bukan lagi anak desa yang polos. Dia bersumpah menggunakan warisan ibunya untuk mencari Keadilan, bukan dendam. Desa mungkin melupakannya, tapi Made akan memastikan pengorbanan Ni Luh tak sia-sia.
TAMAT
Apa pendapatmu tentang pengorbanan Ni Luh? Tulis di kolom komentar!


Tidak ada komentar: