
Mata Belo Menyergap di Lampu Merah
Pagi itu, Deni mengenakan jaket ojolnya yang warnanya sudah mulai pudar, seperti semangat bangsa ini saat akhir bulan. Ia mengecek saldo e-wallet-nya, lalu menatap istrinya yang tengah menyiapkan bekal nasi goreng seadanya—dengan topping seadanya juga: telur setengah, sambal seperempat.
“Mas, jangan lupa mampir ke toko kue ya, setelah dapet penumpang pertama. Kue yang kita pesan udah jadi, tinggal lunasin. Kurang dua puluh lima ribu.”
“Iya. Nanti kalau narik satu orderan, langsung aku ambil. Janjian jam enam sore tiup lilin, kan?”
Anak mereka, Lila, tertawa kecil sambil mengayun-ayunkan kakinya di kursi. Hari ini usianya lima tahun.
Sudah sebulan Deni dan istrinya menabung recehan demi kue kecil bergambar kartun kesukaan Lila.
Deni menghela napas, lalu berangkat. Di jalan, ia dapat penumpang dari Rawamangun ke Cempaka Putih. Perjalanan lancar, bayaran tunai seharusnya Rp22.000, tapi penumpangnya kasih Rp50.000 dan menolak dikasih kembalian.
“Rezeki Lila!” pikir Deni sambil senyum ke spion. Cukup buat nebus kue, beli bensin, dan sedikit sisa buat ngopi Starling. Ia melipir ke toko kue kecil di pinggir jalan bypass. Seorang ibu tua menyerahkan kotak merah muda dengan pita plastik dan senyum yang lebih manis dari kuenya. “Ini ya, pesanan atas nama Pak Deni. Selamat ulang tahun buat anaknya.”
Deni mengangguk. Matanya sedikit berkaca. Ia menaruh kue itu hati-hati di bagasi motor, menghindari getaran mesin. Hari ini akan jadi hari yang manis, pikirnya. Tapi kebahagiaan itu cuma bertahan sampai lampu merah perempatan Kebon Nanas menyala.
Semuanya terjadi seperti skrip sinetron FTV. Tiga pria berjaket hitam dengan tulisan "Mata Belo Recovery Unit" menyergap dari balik deretan motor. Satu berdiri di depan kendaraan Deni, satu di sisi kanan, dan satu lagi langsung meraih kunci kontak. “Bang, maaf. Ini motor kredit, ya? Kami dari Mata Belo. Mohon kerja samanya.”
Deni refleks mencengkeram setang. “Maaf... ini udah angsuran ke-31 dari 36. Saya nggak pernah telat.”
Pria di sebelahnya mengangguk sok paham. “Iya, iya. Tapi di sistem kami, abang telat dua bulan. Kami cuma jalankan perintah.”
“Sistem apa? Nih, saya punya bukti transfer! Liat di HP!”
Yang satu malah nyeletuk, “HP abang Android, ya? Waduh, kami pakainya iOS. Nggak bisa sinkron.”
Deni makin panik. “Bang, tolong jangan... di bagasi ada kue ulang tahun buat anak saya,” suaranya mulai bergetar. “Saya harus pulang bawa itu.”
Pria tertua dari mereka menatapnya. “Maaf ya, Bang. Kami cuma petugas lapangan. Urusan kue, silakan ke customer service.”
Salah satu dari mereka malah nyeletuk, “Kalau kuenya bentuk karakter kartun, kita bisa nego... Soalnya anak saya juga suka.”
Motor Deni melaju dibawa orang asing. Di trotoar, seorang bapak tua berkomentar lirih, “Udah kayak rentenir zaman kolonial, ya. Bedanya sekarang bawa HP dan pakai jaket seragam.”
Deni berdiri diam. Orang-orang mulai melintas, tidak ada yang berhenti. Lampu lalu lintas berubah hijau, tapi hidupnya tetap merah.
Sore harinya, Deni datang ke kantor finance seperti orang minta sumbangan. Ia naik bus, membawa bukti transfer lengkap. Di meja resepsionis, ia menjelaskan bahwa motornya ditarik tanpa dasar yang sah.
Petugas memeriksa data sambil menyeruput kopi instan. “Wah, iya, Pak. Ternyata memang ada kesalahan entri. Sistem kami belum update setoran terakhir.”
“Terus gimana?”
“Bapak buat laporan dulu. Proses pengecekan biasanya tiga sampai lima hari kerja. Tapi bisa juga sebulan... tergantung sistemnya, kalo lagi malas update bisa lama.”
Deni mengernyit. “Saya kerja harian, Mbak. Kalo saya nggak narik, artinya anak saya nggak makan.”
Petugas tersenyum seperti AI dalam iklan teknologi.
“Kami mengerti dan paham, Pak. Tapi prosedurnya sudah ketat begitu. Sistem nggak bisa diburu-buru, dia sensitif.”
Tiga minggu kemudian, Deni belum dapat kabar. Ia sudah tiga kali bolak-balik ke kantor finance. Terakhir, ia hanya disuruh menunggu sambil diberi kopi sachet gratis dan biskuit yang rasanya mirip amplas.
Hari ulang tahun anaknya sudah lewat. Ia pulang dengan tangan kosong malam itu, menunduk di ambang pintu.
“Motornya belum balik?” tanya istrinya.
Deni menggeleng.
“Kuenya?” tanya anaknya sambil memeluk boneka kecil.
Deni menarik napas panjang. “Dibawa orang, Nak. Tapi nanti kita beli lagi. Yang lebih enak, yang lebih besar.”
Anaknya tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Ayah. Yang penting Ayah pulang.”
Satu bulan lebih motor Deni baru bisa di ambil. Kondisinya bikin hati ngenes. Debu setebal gurun pasir menutupi motornya, aki drop, dan bensin tandas! Mungkin ini belum seberapa pedihnya, yang bikin Deni pengin anarkis membakar ruko Finance adalah dia tetap disuruh ngangsur cicilan sambil menunggu sistem menyetujui pengambilan motor!
Sore itu, sambil berharap HP-nya melengking terima orderan, Deni melihat berita di Youtube. Stasiun TV lokal memberitakan kelompok “Mata Belo” yang beroperasi di jalanan ditangkap warga karena menarik motor milik seorang veteran tua. Videonya viral: seragam mereka robek, jaket "Recovery Unit" diinjak-injak. Untung Polisi cepat datang, orang-orang Mata Belo selamat tidak diganyang masa. Namun, pihak leasing menyatakan bahwa mereka "tidak tahu-menahu" soal cara kerja para penagihnya. seorang wanita cantik perwakilan leasing menjawab pertanyaan wartawan dengan senyuman, “Kami telah menunjuk mitra Jasa Penagihan sesuai ketentuan, akan ada evaluasi ketat memilih Jasa Penagihan ke depan, Kami turut prihatin.” Kata-kata yang sama seperti tahun lalu. Dan tahun sebelumnya. Dan sebelumnya lagi.
Deni hanya bisa menatap layar sambil tersenyum miris. “Kayaknya yang harus ditarik bukan motor atau orang-orang Mata Belo... tapi menarik izin finance-nya!” Pikir Deni berharap keajaiban hukum terjadi.
#MotorKredit, #DebtCollector, #PenarikanMotor, #Ojol, #Finance, #Leasing
Tidak ada komentar: