|MALAM JUMAT|
Seumur hidup, saya selalu merasa rasional. Hantu, setan, roh halus—semua itu bagi saya hanyalah cerita karangan manusia yang takut pada gelap. Saya lebih takut pada manusia, yang bisa menipu, membunuh, mencuri, daripada makhluk tak kasat mata yang konon katanya berkeliaran di malam Jumat. Saya percaya bahwa semua hal di dunia ini dapat dijelaskan dengan logika. Sampai sebuah malam mengubah semua keyakinan saya.
Sampai malam Jumat itu.
Malam itu kantor sudah nyaris kosong. Jam di dinding berdetak pelan menunjukkan pukul sebelas malam. Sebagian besar rekan kerja sudah pulang sejak dua jam lalu. Hanya beberapa dari kami yang masih bertahan karena besok pagi adalah hari penting—tender besar dari salah satu BUMN, dan saya bertanggung jawab atas kelengkapan dokumennya. Ruangan terasa dingin dan sunyi. Hanya suara AC yang mendesah pelan dan gelegak kecil dari dispenser air di sudut ruangan. Lampu neon putih di langit-langit terasa terlalu terang, terlalu steril, seperti cahaya rumah sakit. Saya menandatangani lembar terakhir dokumen ketika terdengar ketukan pelan di pintu.
Tok... tok... tok...
“Ya, masuk,” kata saya, tanpa menoleh. Saya kira itu Joni, staf saya yang masih lembur malam itu.
Pintu terbuka setengah. Dari baliknya muncul wajah Joni yang separuh terendam dalam bayangan lorong. “Belum pulang juga, Pak? Udah malam loh... malam Jumat lagi.” Suaranya terdengar ringan, tapi ada nada cemas di sana. Saya tertawa kecil. “Ah, malam Jumat sama aja kayak malam lainnya, Jon. Lagian gue nggak percaya yang begituan.” Joni tersenyum tipis, lalu menambahkan, “Tetap hati-hati, Pak. Apalagi kalau pulangnya lewat komplek makam. Tadi saya lihat berita—ojol nganter penumpang yang ternyata... bukan manusia.” Saya hanya tertawa lagi, kali ini lebih kering. Entah kenapa, ucapannya menancap seperti duri di kepala saya. Saya tidak percaya hantu, tapi kisah-kisah yang berseliweran di media sosial terkadang punya efek lebih nyata daripada kebenaran itu sendiri. Setelah Joni pamit dan suasana kembali sunyi, saya membereskan meja, memasukkan dokumen ke dalam map khusus, lalu berjalan ke parkiran. Udara di luar lebih dingin dari biasanya, menusuk sampai ke leher meskipun saya sudah mengenakan jaket. Satpam di pos depan sempat menyapa saya.
“Hati-hati, Pak Beni. Malam Jumat, banyak cerita aneh di jalan pemakaman.” Saya hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, saya mempertimbangkan jalan memutar. Saya tahu itu lebih aman, tapi juga lebih lama—dan saya sangat lelah. Saya akhirnya memilih jalan biasa, yang melewati komplek pemakaman.
Jam sudah menunjukkan pukul 11.25 malam saat motor saya keluar dari gerbang kantor. Jalanan lengang, hanya ada lampu jalan yang sinarnya temaram, menciptakan bayang-bayang panjang di aspal. Sekali dua kali saya merasa seperti ada sesuatu di sudut mata, tapi ketika menoleh, tak ada siapa pun. Saat berhenti di lampu merah sebuah perempatan, seseorang memanggil saya dari belakang.
“Ben! Beni!”
Saya menoleh dan mendapati seorang pria berlari kecil menghampiri, melambai dengan wajah yang samar di bawah cahaya.
“Alif?”
Ia tersenyum lebar, meskipun wajahnya tampak agak pucat. “Motorku mogok. Gak ada ojol yang nyangkut. Untung banget kamu lewat. Boleh nebeng?” Tanpa pikir panjang, saya mengangguk dan membiarkannya naik ke boncengan.
Kami ngobrol ringan di atas motor. Obrolan biasa tentang pekerjaan, keluarga, dan lelucon receh seperti masa kuliah dulu. Alif adalah teman lama saya, dan kebetulan kantornya tak jauh dari tempat saya bekerja. Namun, saat kami memasuki jalan ke arah pemakaman, suasana mendadak berubah. Angin bertiup lebih dingin. Bau melati yang samar mulai menguar dari entah di mana. Saya mencoba tidak peduli. Lalu, saya sadar ada dua motor di belakang kami. Mereka melaju pelan, seirama dengan laju kami.
“Lif... kayaknya kita diikutin deh,” bisik saya.
Alif menoleh, lalu mengangguk pelan. “Empat orang... dua motor. Kayaknya... bukan teman biasa.” Saya mempercepat motor. Mereka pun mempercepat laju. Jantung saya berdegup makin kencang. Kami nyaris sampai di gerbang pemakaman ketika... mereka berhenti. Kedua motor itu berbalik arah secepat kilat, lalu menghilang dalam kegelapan. Saya dan Alif saling berpandangan. “Kenapa mereka kabur?” tanya saya pelan. “Mungkin... mereka lihat sesuatu yang tidak kita lihat,” jawab Alif datar.
Jalan pemakaman terasa makin panjang. Lampu jalan beberapa padam, menyisakan gelap-gelapan dengan siluet pohon besar dan nisan yang berdiri di kejauhan. Aroma melati kini begitu kuat, seolah-olah bunga-bunga itu baru saja ditebar.
Alif tak banyak bicara. Ketika saya bertanya, “Kamu nggak takut?” dia hanya menjawab dengan suara pelan, “Takut itu manusiawi, Ben. Tapi kadang... bukan kita yang harus takut pada mereka. Mereka yang takut kita lupa.” Saya tak paham maksudnya. Tapi ada sesuatu dalam nadanya yang membuat saya diam.
Kami akhirnya sampai di sebuah deretan ruko. Alif minta berhenti di depan sebuah apotek. “Thanks ya, Ben. Ini titipan buat Dewi. Tolong sampaikan ke rumahku besok atau lusa, terserah sempatnya.” Ia menyodorkan bungkusan kecil berwarna merah marun. Saya mengangguk. Alif melangkah masuk ke dalam ruko, bergabung dengan beberapa orang yang berdiri di sana dalam diam. Mereka tak berbicara, hanya menatap ke arah saya.
Besoknya, saya izin pulang cepat. Tender berhasil dimenangkan dan bos sedang gembira. Saya memutuskan mengantar titipan dari Alif hari itu juga ke rumahnya. Saat tiba di rumahnya, saya disambut anak sulung Alif yang menyilakan saya masuk. Beberapa menit kemudian, Dewi—istri Alif—keluar dari dalam rumah.
“Mas Beni, ada apa?” tanyanya sambil duduk.
Saya menyodorkan bungkusan. “Tadi malam ketemu Alif. Dia nitip ini buat Mbak.”
Dewi menatap saya dengan mata melebar. Tangannya gemetar saat menerima bungkusan itu. “Mas bilang... ketemu Mas Alif?” “Iya, tadi malam. Dia naik motor saya. Cerita motor mogok, dan minta tolong sampaikan ini.”
Dewi langsung menangis. “Mas... Alif sudah meninggal seminggu yang lalu. Ditabrak angkot di perempatan. Meninggal di tempat.” Saya membeku. “Tapi saya... saya ngobrol dengannya. Kami bercanda... dia ada di boncengan saya...!” Dengan tangan gemetar, Dewi membuka bungkusan itu. Di dalamnya ada satu set perhiasan emas.
“Ini... ini yang dia janjikan untuk ulang tahun saya... sebelum meninggal. Dia sempat WA katanya mau kasih kejutan. Tapi malam itu dia... tak pernah pulang.” Saya hanya bisa menatap perhiasan itu dalam diam. Otak saya berusaha mencerna kenyataan yang tak bisa dipahami oleh logika apa pun. Sore itu juga, saya pergi ke pemakaman. Di bawah cahaya senja yang temaram, saya berdiri di depan sebuah nisan bertuliskan:
Tanahnya masih merah. Bunga tabur mulai mengering.
Saya menunduk, mengusap batu nisan itu perlahan. “Lif... amanahmu sudah sampai. Dewi menerimanya dengan air mata.”
Angin sore menyapu pelan, membawa aroma melati samar yang entah datang dari mana. Lalu, suara serak angin seperti bisikan menggema pelan...
“Terima kasih, Ben.”
Saya menoleh. Tak ada siapa-siapa.
Saya pulang perlahan, dan sejak itu, saya tak lagi menganggap semua hal bisa dijelaskan dengan logika.
Karena kadang, cinta... bahkan dari yang telah tiada... bisa lebih nyata dari apa pun yang bisa dijelaskan oleh nalar.
Tidak ada komentar: